Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inovasi pariwisata dan kuliner lahir dari hutan bakau Bali

Inovasi pariwisata dan kuliner lahir dari hutan bakau Bali


Buletindewata.id, Buleleng - Sebagai ekosistem penyimpan karbon tinggi, hutan bakau dan lahan gambut mempunyai peran strategis sebagai solusi berbasis alam dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 

Lahan gambut dan hutan bakau menyimpan karbon 2 hingga 10 kali lebih banyak dibandingkan hutan. Mangrove memberikan sejumlah manfaat langsung dan tidak langsung, seperti pasokan makanan, perlindungan pantai, habitat berkembang biak, siklus nutrisi dan ekowisata. 

Indonesia memiliki potensi karbon biru yang besar dengan sekitar 3,3 juta hektar hutan bakau yang mampu menyimpan 950 tCO2e karbon per hektar. Pesisir Lestari merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal di Indonesia yang menerapkan model pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan berbasis masyarakat, yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di desanya. Dengan inisiatif dan partisipasi masyarakat, peluang keberlanjutan program akan semakin besar.

Dalam proyek yang didukung Good Energies sejak tahun 2023, Pesisir Lestari hadir di empat desa pesisir yang masih menghadapi tantangan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial pengelolaan hutan mangrove, khususnya di Desa Budeng, Kecamatan Jembrana, Bali Barat, Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Banggai, Desa Darunu, Kecamatan Wori, Desa Minahasa Utara dan Desa Golo Sepang, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Pesisir Lestari mengedepankan hak pengelolaan, peningkatan kapasitas lokal, peningkatan penghidupan dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengakses pembiayaan berkelanjutan.

Desa Budeng terletak di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali mempunyai sejarah yang panjang dan tradisi lokal yang kuat, dimana kebudayaan masyarakatnya dipengaruhi oleh adat istiadat dan kepercayaan Hindu Bali. Budaya gotong royong atau ngayah masih dilakukan hingga saat ini, baik dalam kegiatan sosial maupun keagamaan.

Desa Budeng memiliki luas mangrove sebesar 89,39 hektar. Dari total luas tersebut, sekitar 25 hektare dikelola dan dikembangkan oleh kelompok petani hutan Wana Mertha. Penanaman mangrove di desa Budeng telah dilakukan sejak tahun 2007, dan pada tahun 2011 pengelolaannya dimulai oleh KTH Wana Mertha.

“KTH Wana Mertha mengelola kawasan mangrove desa Budeng dengan 3 poros utama yaitu eco-tourism, hasil hutan bukan kayu (NTFP) dan silvo-fishery sebagai wujud konservasi mangrove”, ujar I Putu Madiasa, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH Wana Mertha, Desa Budeng.

Putu Madiasa juga menjelaskan, salah satu bentuk pemanfaatan kawasan mangrove sebagai lokasi ekowisata yang dilakukan adalah berbasis kuliner, termasuk pembuatan Warung Mangrove pada tahun 2021. “Warung Mangrove menawarkan suasana bersantap unik yang menghadap ke hutan bakau dan menyajikan beragam menu hasil tangkapan masyarakat yang kemudian dimasak oleh sekelompok ibu-ibu Desa Budeng.

Guna mendukung keberlanjutan ekowisata di Desa Budeng, Pesisir Lestari dan KTH Wana Merta melakukan analisis bisnis yang akan menjadi dasar perencanaan kegiatan bisnis berkelanjutan. Pendekatan pengembangan masyarakat ini bertujuan untuk memenuhi aspirasi masyarakat Budeng dengan memperluas manfaat ekowisata dengan memasukkan unsur edukasi kepada pengunjung kawasan dan masyarakat sekitar tentang konservasi mangrove.

Inovasi pariwisata dan kuliner lahir dari hutan bakau Bali


Di Warung Mangrove, KTH menjual hasil hutan bukan kayu (NTFP), seperti teh Donju, keripik mangrove, dan tablet mangrove. Ketiga produk ini masih diproduksi dalam skala keluarga dan dibuat bekerja sama dengan masyarakat setempat dari bahan daun dan buah bakau.

Kawasan mangrove Budeng kaya akan biota seperti ikan, udang, kepiting bakau, moluska, dll. Warga desa Budeng dan sekitarnya datang untuk menangkap dan memungut untuk dijual dan dikonsumsi. Hal ini juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Warung Mangrove dalam melengkapi menu-menu yang ditawarkannya. 

Pemanfaatan dan konservasi mangrove secara luas tidak hanya memberikan manfaat bagi Desa Budeng, namun juga bagi desa-desa sekitarnya.“Dengan adanya hutan mangrove sekarang kita merasa terlindungi, kita juga bisa merasakan pengambilan biota seperti udang, kepiting, dan lain-lain (secara ekonomi),” kata I Kadek Sudiarsa, Sekretaris KTH Wana Merta, Desa Budeng.

Dari sisi hukum, Pesisir Lestari melakukan kegiatan advokasi dan peningkatan kapasitas agar KTH dapat mengajukan status hutan mangrove desa Budeng sebagai hutan desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan hutan Indonesia. 

Yayasan ini melakukan pemetaan partisipatif untuk menentukan wilayah pengelolaan bersama masyarakat dan berkoordinasi dengan KPH Bali Barat untuk memverifikasi wilayah yang akan diusulkan. 

Setelah memperoleh status hutan desa, masyarakat berhak memanfaatkan hutannya dan tetap mengelolanya berdasarkan nilai-nilai ekologi dan tradisi yang diturunkan dari nenek moyang. (bud)

Posting Komentar untuk "Inovasi pariwisata dan kuliner lahir dari hutan bakau Bali"