Bali SPA Bersatu Tanda Tangani Petisi Tolak SPA Masuk Kategori Hiburan dan Kena Pajak 40 Persen
Buletindewata.id, Badung - Masyarakat yang tergabung dalam gerakan "Bali SPA Bersatu", terdiri dari pengusaha SPA, Pelaku Spa, Asosiasi Pengusaha SPA, Bali SPA & Wellness Association, Ubud SPA & Wellness dan organisasi yang berkaitan dengan kegiatan bisnis SPA (Sante Par Aqua), menolak secara tegas usaha SPA dimasukkan dalam kategori hiburan. Penolakan ini disampaikan dalam pertemuan di Legian Kuta, Bali pada, Jumat (12 /1).
lahirnya Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2022, dinilai telah mengguncang perasaan dan rasa keadilan para pelaku bisnis usaha SPA di seluruh Bali. Pembuat dan penguasa yang melahirkan aturan tersebut, dinilai tidak memperhatikan definisi yang sebenarnya tentang aktivitas usaha SPA, sehingga memasukkan begitu saja aktivitas usaha SPA dalam kelompok kesenian dan hiburan.
Penempatan usaha kegiatan SPA pada kelompok Kesenian dan Hiburan pada Pasal 55 UU Nomor 1 Tahun 2022 ini, berkaitan langsung dengan Pasal 58 (2) UU Nomor 1 Tahun 2022, berbunyi, khusus tarif PBJT (Pajak Barang Jasa Tertentu) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/ SPA ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
“Kami kaget, tiba-tiba saja sudah ada pemberitahuan bahwa kami akan dikenakan pajak sebesar 40 persen dengan kategori hiburan. Tidak ada sosialisasi sama sekali. Padahal, sebelumnya kami kena pajak sebesar 12,5 hingga 15 persen,” ungkap Jayeng Saputra, selaku inisiator Bali SPA Bersatu.
Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 2022, jika dipaksakan akan berdampak terhadap pencitraan yang kurang baik, dimana keberadaan Mandi Uap/ SPA di kategorikan sama dengan Diskotik, Karaoke, Club malam dan Bar, yang secara moral dan psikologis akan menimbulkan efek negatif berupa kesan atau citra yang kurang baik di masyarakat.
Para pelaku Usaha Mandi Uap/ SPA juga harus menanggung biaya yang lebih banyak lagi karena pengenaan PBJT sebesar 40% -75 %, sehingga akan menambah biaya yang pada akhirnya menambah biaya pengelolaan usaha SPA dan sangat merugikan.
Para konsumen SPA harus membayar lebih mahal untuk memperoleh jasa pelayanan kesehatan SPA. Berkurangnya konsumen atas jasa pelayanan SPA akan mengurangi pendapatan para pengusaha yang pada akhirnya akan berdampak pada kemampuan perusahaan jasa pelayanan SPA untuk membayar gaji karyawan atau terapis SPA, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi pengurangan tenaga kerja atau PHK pada sektor usaha pelayanan kesehatan SPA, yang pada akhirnya akan menambah penganguran.
Sebagai langkah serius dari gerakan Bali SPA Bersatu ini, para pelaku dan pengusaha SPA telah melakukan upaya hukum, yakni mengajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, berupa pengujian materi UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan Tanda Terima No.10-1/PUU/PAN.MK/AP3.
“Kami telah melakukan upaya hukum berupa Judicial Review terkait akan hal ini, dengan mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berupa pengujian materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,” ujar Tim Advokasi Bali SPA Bersatu, Mohammad Ahmadi.
Berdasarkan data dari asosiasi SPA tercatat, pada tahun 2023 terdapat sebanyak 911 SPA di Bali, yang akan terdampak aturan kenaikan pajak yang dianggap ditetapkan tanpa sosialisasi dengan pihak pengusaha SPA.
Sebelum pandemi tercatat di Bali terdapatsebanyak 1.139 SPA dan 1.500 orang terapis yang sudah bersertifikasi. Akibat dampak pandemi keberadaan usaha SPA di Bali telah jauh berkurang dan diharapkan tidak sampai hilang karena pengenaan pajak yang sangat memberatkan.
Pada akhir pertemuan, para pelaku usaha SPA meminta pembatalan regulasi dan dihilangkannya definisi SPA dalam kelompok hiburan, dengan membuat petisi yang ditandatangani bersama. (ris)
Posting Komentar untuk "Bali SPA Bersatu Tanda Tangani Petisi Tolak SPA Masuk Kategori Hiburan dan Kena Pajak 40 Persen"